Demonisasi
Para psikolog menemukan
kemiripan antara orang yang suka melakukan demonisasi dengan perilaku
intoleran, tertutup, dan antisemit (Perry and Schweitzer, Anti-Semitism,
2003). Dalam konteks pemikiran keagamaan, orang-orang seperti ini tak
mempercayai pluralisme, dan cenderung berkeyakinan bahwa agama yang dipeluknya
adalah yang paling benar, dan pemahamannya adalah yang paling sah, sementara
agama dan pemahaman orang lain sesat dan salah.
Sikap demonisasi kerap
menghinggapi orang-orang yang merasa tidak nyaman (insecure), akibat
keterkejutannya berinteraksi dengan dunia di sekelilingnya. Perilaku ini tak
mengenal latar belakang sosiologi dan pendidikan. Siapa saja bisa terkena
gejala nurosis ini. Para penganut agama di antara yang paling sering ditemukan
mengidap perilaku demonisasi, khususnya jika mereka mengalami benturan
keyakinan yang hebat.
Dalam Islam, perilaku
demonisasi kerap dijumpai pada tokoh atau pemimpin yang merasa memiliki missi
suci untuk menyelamatkan dunia dari kebejatan dan kebobrokan moral. Sayyid
Qutb, salah satu tokoh penting pergerakan Islam, dalam tulisan-tulisan dan
ceramahnya, kerap melakukan demonisasi terhadap siapa saja yang menurutnya
bertentangan dengan ideologi dan keyakinan yang dianutnya.
Qutb dikenal sebagai orang
yang anti terhadap peradaban Barat dan anti terhadap modernnitas secara umum.
Barat, baginya adalah perwakilan iblis dan setan di muka bumi. Seluruh sistem
kehidupan yang dibentuk oleh orang-orang Barat modern adalah sistem yang jahili
(bodoh dan sesat).
Dalam tulisan-tulisannya,
seperti Ma’alim fi al-Tariq, Qutb tak hanya mencaci-maki Barat dan
modernitas, tapi siapa saja yang dianggap sesuai dengan Barat disetankan dan
diibliskan, termasuk orang-orang Muslim sendiri. Dia misalnya menyamakan
presiden Gamal Abd al-Naser, penguasa Mesir saat itu, sebagai Fir’aun, tokoh
antagonis yang dalam tradisi Islam kerap dilukiskan sebagai perwakilan setan di
dunia.
Penyakit “mensetankan orang”
juga menghinggapi sebagian kaum terpelajar Muslim di Indonesia, yang merasa
terkejut dan tak aman karena berhadapan dengan dunia di sekelilingnya yang
dianggap mengancam. Dalam sebuah artikel pendek, saya menemukan seorang pelajar
Muslim (yang sebetulnya tidak bodoh, karena terbukti telah menggondol gelar
PhD), yang membuat tulisan sangat provokatif, berjudul “Diabolisme Intelektual”
(Intelektual Pemuja Iblis).
Dalam tulisan itu, ia
mengerahkan seluruh energi amarahnya untuk mensetankan siapa saja yang dianggapnya
sesat. Dengan memilih potongan-potongan ayat Al-Qur’an (yang pasti diseleksi
dengan tidak jujur), dia menganggap para tokoh pembaru Islam seperti Nurcholish
Madjid, sebagai setan dan iblis. Tak sampai di sini, dia juga mensetankan
beberapa ulama besar Islam seperti Suhrawardi dan Hamzah Fansuri, karena
dianggap sebagai orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam.
Saya pernah bertanya kepada
seorang ahli psikologi tentang mengapa penyakit demonisasi menghinggapi
sebagian pelajar Islam. Sang psikolog menjawab bahwa sebagian besar kasus-kasus
demonisasi diakibatkan oleh ketidaknyamanan (insecure) seseorang karena
benturan yang begitu dahsyat dalam iman dan keyakinannya.
Ide-ide baru yang datang dari
luar Islam (terutama Barat) kerap mengganggu iman seorang Muslim. Hal ini
kemudian berakibat pada ketidakmampuannya dalam menerima pandangan-pandangan
berbeda, padahal pandangan-pandangan itu belum tentu bertentangan dengan ajaran
dasar Islam.
Orang cenderung melakukan
“penyetanan” bukan demi kebenaran, tapi karena ia berusaha membedakan dirinya
dari yang lain: “saya” dan “mereka.” Saya adalah kebenaran sedangkan mereka
adalah setan yang sesat. Dengan melakukan perbedaan yang ekstrim itu, dia
berusaha menghibur dirinya bahwa kebenaran selalu bersamanya sementara
kesesatan ada pada orang lain.
Dalam banyak kasus, para pengidap demonisasi kerap tak
sembuh, tapi bagi mereka yang cukup punya matahati, terbuka, dan terus mau
belajar, gejala neurosis itu sebetulnya bisa dihilangkan.
0 komentar:
Posting Komentar