Belajar Mewujudkan Demokrasi Sejati
Kalau saja ada orang yang mau menghitung frekuensi demonstrasi di
Tanah Air, tentulah dia akan terkejut menyimak angka-angka yang diperolehnya.
Sekarang ini nyaris tiada hari tanpa demonstrasi. Bahkan anak sekolah dasar
saja sudah berdemonstrasi untuk memprotes kebijakan camat (di Bekasi) yang
membiarkan sampah menumpuk di dekat sekolah mereka.
Demonstrasi seolah representasi kebebasan. Kata para pendemo
(demonstrasi itu acap dipendekkan menjadi demo), alam reformasi adalah
perwujudan kebebasan. Seperti dalam sebuah wawancara di televisi, "Ini
zaman kebebasan. Kami bebas berdemonstrasi. Bukankah reformasi menjunjung
tinggi demokrasi?"Ada asumsi demonstrasi sama dengan demokrasi. Asumsi itu bukan
individual. Malah nyaris sebagai common sense. Seperti halnya survei oleh
Polling Centre yang dilakukan awal era-reformasi (setelah 1998), diperoleh
angka 60% responden memahami demokrasi berasal dari kata demonstrasi. Jadi
ingin dicirikan mereka, negara mencapai demokrasi bila demonstrasi marak dan
direstui keberlangsungannya oleh aparat keamanan. Tatkala aparat keamanan
memasung kebebasan berdemonstrasi, maka negara telah mematikan demokrasi.
Lihat saja di tayangan televisi. Para pendemo sungguh-sungguh
menikmati "kebebasan" versi mereka saat berdemonstrasi. Pendemo
dengan enaknya menggelindingkan miniatur bola dunia di Jalan Sudirman, Jakarta,
pada jam-jam sibuk, yang tentu saja menimbulkan kemacetan luar biasa. Ada
peristiwa lain, ketika para kepala desa berdemo di Jakarta, mereka long-marc
dari Senayan ke gedung Depdagri dengan melewati jalur busway, yang buntutnya
melumpuhkan angkutan kota.
Celakanya, tuntutan mereka adalah minta diperpanjang masa jabatan
dari enam menjadi sepuluh tahun. Di Madiun, sekadar contoh lain, warga
berdemonstrasi dengan cara memblokir jalan umum dengan potongan pohon
semata-mata mereka menuntut pemerintah daerah mau mengaspal jalan desa.
Demonstrasi secara harfiah berarti pernyataan protes yang
dikemukakan secara massal (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001: 250). Pengertian
ini melahirkan padanan unjuk rasa. Mereka ingin menunjukkan perasaannya, tetapi
sebagian besar perasaan tak sepaham. Demonstrasi juga diartikan peragaan cara
mengerjakan sesuatu.
Kedua pengertian itu sangat bertolak belakang. Sebagai peragaan,
umumnya berlangsung menyenangkan. Demonstrasi busana pengantin tentu
berlangsung tenang dan semerbak wangi. Bisa cuci mata. Tetapi demo menuntut
pertanggungjawaban pejabat yang salah menentukan kebijakan acapkali berlangsung
beringas. Tidak lagi tenang-tenang.
Inilah yang disebut filsuf Hannah Arendt sebagai teori individuasi
massa. Seorang lelaki kalem, dingin kepala, dan rasional akan berubah menjadi
beringas, kepala cepat panas, dan emosional tatkala melebur dalam massa. Kalau
saja ada seratus lelaki macam itu, maka massa mempunyai tindakan kolektif yang
seragam. Isinya hanya satu kata: gempur! Kata ini dijabarkan dalam tindak
kekerasan.
Ketika demonstrasi diwarnai kekerasan, apalagi berujung konflik,
tentu menjadi sebuah pertanyaan lain: inikah demokrasi? Pakar politik Jack
Snyder dalam bukunya berjudul From Voting to Violence: Democratization and
Nationalist Conflict (2000) menyinggung ikhwal kebebasan, macam kebebasan
berbicara dan berkumpul, dalam elemen demokrasi. Ketika kebebasan dijunjung
tinggi, maka negara telah berada pada demokrasi matang. Namun ada ciri lain,
demokrasi yang matang perdamaian terpelihara.
Bagi Indonesia adalah paradoksal. Ingin menjunjung tinggi
kebebasan, tetapi berlangsung keras, jauh dari kedamaian. Artinya, masih
mengacu kepada Snyder, Indonesia berada dalam taraf transisi demokrasi. Teori
ini yang mementahkan anggapan demonstrasi identik dengan demokrasi.
Demonstrasi yang diikuti kekerasan jangan-jangan masih sekadar euforia
kebebasan. Setelah terbelenggu berpuluh-puluh tahun masyarakat menemukan alam
kebebasan pasca-reformasi. Mereka merasa sudah menemukan demokrasi. Padahal,
kalau mau dikatakan demokrasi, sebenarnya hanya demokrasi yang terdistorsikan.
Ada sesat pikir dalam mempraktikkan kebebasan. Di Indonesia,
sejauh ini, kebebasan diartikan sebagai bebas dari yang beda dan yang lain.
Kebebasan mesti berujung pada keseragaman, tanpa mau menghormati perbedaan dan
kelainan.
Padahal, sejatinya kebebasan bukan dalam artian seseorang leluasa
melakukan apa saja. Kebebasan seseorang hanya dapat diterima sepanjang tidak
mengganggu, apalagi merusak, kebebasan maupun kenikmatan hidup orang lain.
Kebebasan yang melahirkan kekacauan, apalagi kekerasan, jelas-jelas bakal mengganggu
orang lain.
Sekelompok orang boleh tak sepaham dengan sebuah kebijakan, tetapi
bukan berarti saat memprotes kebijakan itu bisa seenaknya memukuli mobil orang
lain yang kebetulan lewat. Bukankah kebebasan itu telah mengganggu kenikmatan
orang lain? Coba, apa nikmatnya saat berkendaraan tiba-tiba mobil dipukuli oleh
orang lain?
Tampaknya kita masih perlu belajar untuk mewujudkan demokrasi
sejati. Bagaimanapun demokrasi itu perlu. Seperti dikemukakan Amartya Sen, ada
tiga alasan kenapa demokrasi dibutuhkan. Pertama, demokrasi dapat memperkaya
kehidupan seorang individu, terutama dalam menikmati kebebasan sebetulnya.
Kedua, demokrasi dapat menolong rezim yang memerintah. Ketiga, demokrasi
mendorong lahirnya masyarakat terbuka.
Tetapi, untuk sampai ke sana patut belajar mematuhi etika komunikasi.
Etika ini, kata filsuf Jurgen Habermas, dapat menghasilkan proses pembentukan
kehendak bersama lewat perbincangan. Masalahnya, bagaimana bisa berbincang jika
disertai kekerasan? Inilah yang patut dibangun dalam masyarakat kita. Jika
telah terbangun, demonstrasi tetap marak tetapi kekerasan bisa diminimalisasi
karena kedua belah pihak (pemrotes dan yang diprotes) mampu melakukan
perbincangan.
0 komentar:
Posting Komentar