Dampak Sosial Politik dari Korupsi
Jika
korupsi menyebabkan nilai mata utang turun seperti saat ini, hal itu bisa
dipulihkan dalam lima hingga 10 tahun. Tetapi jika nilai-nilai
kemasyarakatan yang terpuruk bisa membutuhkan satu generasi untuk
memulihkannya.
Demoralisasi
Akibat praktek korupsi yang berkepanjangan, akibatnya lama
kelamaan rakyat tidak lagi mempercayai kredibilitas aparat dan lembaga
pemerintahan. Dalam pandangan ahli politik Asia dari City University
of New York Sun Yan said, sifat korupsi yang tidak demokratis dan merusak
menimbulkan demoralisasi, keresahan sosial dan keterasingan politik.
Hal yang serupa diperingatkan oleh Bank Dunia. Dalam pertemuan
tahunannya pada tahun 1997, Bank Dunia menegaskan korupsi menggerogoti
pembangunan dengan mengabaikan aturan hukum dan melemahkan landasan kelembagaan
tempat pertumbuhan ekonomi bertumpu. Dampak jelek korupsi terutama diderita
oleh kaum miskin, yang paling terpukul dengan menurunnya perekonomian, yang
paling tergantung dengan layanan-layanan publik, dan yang paling tidak mampu
untuk membayar biaya ekstra yang berkaitan dengan suap, pemerasan, dan berbagai
penyalahgunaan keuntungan ekonomi. Korupsi juga memukul kaum miskin dengan
berbagai cara yang lain. Persepsi tentang meluasnya korupsi di negara-negara
sedang berkembang benar-benar mengurangi dukungan masyarakat negara-negara
donor yang akan memberikan bantuan pembangunan serta menggoyahkan kepercayaan
pemilik modal asing, sehingga mengalihkan modal yang sebenarnya sangat
dibutuhkan dan demikian melemahkan pertumbuhan ekonomi.
Merusak Birokrasi Sipil
Lebih jauh lagi, korupsi merusak birokrasi sebagai tulang punggung
pemerintahan negara. "Korupsi dalam rezim yang lalu diciptakan untuk
membantu kerja kekuasaan dengan mensistematiskan korupsi yang melembaga,"
tandas Eep Saefulloh Fatah, Wakil Kepala Laboratorium Politik FISIP-UI,
"Rezim kemudian memiliki cukup kekuatan untuk melanggengkan kekuasaannya.
Dengan korupsi birokratis ini, birokrasi kemudian jadi membesar sehingga ia
menjadi penting dilihat dari kacamata publik."
Birokrasi, baik sipil maupun militer, memang merupakan kelompok
yang paling rawan terhadap korupsi. Sebab, di tangan mereka terdapat kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan, yang menjadi kebutuhan semua warga negara. Oleh
karena itu, Transparency International, lembaga internasional yang bergerak
dalam upaya anti korupsi, secara sederhana mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi.
Lebih jauh lagi, TI membagi kegiatan korupsi di sektor publik ini
dalam dua jenis, yaitu korupsi administratif dan korupsi politik. Secara
administratif, korupsi bisa dilakukan ‘sesuai dengan hukum’, yaitu meminta
imbalan atas pekerjaan yang seharusnya memang dilakukan, serta korupsi yang
‘bertentangan dengan hukum’ yaitu meminta imbalan uang untuk melakukan
pekerjaan yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan.
Pada kasus Indonesia, jenis korupsi pertama terwujud antara lain
dalam bentuk uang pelicin dalam mengurus berbagai surat-surat, seperti Kartu
Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, Akta Lahir atau Paspor agar prosesnya
lebih cepat. Padahal seharusnya, tanpa uang pelicin surat-surat ini memang
harus diproses dengan cepat. Sementara jenis korupsi yang kedua, muncul antara
lain dalam bentuk ‘uang damai’ dalam kasus pelanggaran lalu lintas, agar si
pelanggar terhindar dari jerat hukum.
Penyalahgunaan Kekuatan Militer
Sementara pada birokrasi militer, peluang korupsi, baik uang
maupun kekuasaan, muncul akibat tidak adanya transparansi dalam pengambilan
keputusan di tubuh angkatan bersenjata serta nyaris tidak berdayanya hukum saat
harus berhadapan dengan oknum militer yang seringkali berlindung di balik
institusi militer.
Tim peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang
dipimpin oleh Dr. Indria Samego mencatat empat kerusakan yang terjadi di tubuh
ABRI akibat korupsi:
- Secara formal material anggaran pemerintah untuk menopang kebutuhan angkatan bersenjata amatlah kecil karena ABRI lebih mementingkan pembangunan ekonomi nasional. Ini untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat bahwa ABRI memang sangat peduli pada pembangunan ekonomi. Padahal, pada kenyataannya ABRI memiliki sumber dana lain di luar APBN
- Perilaku bisnis perwira militer dan kolusi yang mereka lakukan dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat dan prajurit secara keseluruhan.
- Orientasi komersial pada sebagian perwira militer ini pada gilirannya juga menimbulkan rasa iri hati perwira militer lain yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena itu, demi menjaga hubungan kesetiakawanan di kalangan militer, mereka yang mendapatkan jabatan di perusahaan negara atau milik ABRI memberikan sumbangsihnya pada mereka yang ada di lapangan.
0 komentar:
Posting Komentar